Selasa, 26 November 2013

DAMPAK KULTURAL MASA PENJAJAHAN


Bangsa indonesia mengalami penjajahan oleh bangsa barat atau eropa dalam masa yang sangat panjang. Yang terpanjang adalah penjajahan oleh bangsa belanda yakni selama lebih kurang 350 tahun. Bangsa indonesia berada pada posisi inferior dihadapan bangsa penjajah. Di sisi lain, sebagai penjajah, bangsa belanda berada pada status sosial penguasa dan menciptakan hubungan patron-client dengan masyarakat pribumi.
Said (1996: 3) menyatakan bahwa masyarakat barat memandang masyarakat timur sebagai sosok the orient. Masyarakat barat memandang dieinya sebagai sosok the occident. Sementara faruk (1998: 2) menyatakan bahwa penjajah menempatkan diri sebagai subjek dengan arogansi dan superioritasnya dihadapan masyarakat pribumi.
Said (1996:3) menyatakan bahwa masyarakat barat memandang masyarakat timur sebagai sosok the orient. Sementara itu masyarakat barat, memandang dirinya sebagi sosok the occident. 
Faruk (1998:2) menyatakan bahwa penjajah menempatkan diri sebagai subjek dengan arogansi dan superioritasnya di hadapan masyarakat pribumi.
Sejak abdab ke-17 dan 18 (sastrowardoyo, 1983:23) sistem status sosial masyarakat jajahan didasarkan pada ras, sedangakan pada 1850, pemerintah Belanda mentapkan sistem stratifikasi sosial penduduk hindia Belanda berdasrkan politik, ekonomi, dan sisoal secara berjenjang. Yaitu: (a). Bansa Belanda dan indo, (b). Bangsa timur asing, misalnya bangsa Cina dan Arab, dan (c). Masyarakat pribumi. Eksistensi penentuan status stratifikasi tersebut tercermin dalam karya-karya sastra Hindia Belanda, yakni karya sastra berbahasa Belanda yang ditulis oleh orang Belanda,Indo,maupun pribumi yang berbicara tentang masyarakat jajahan.
Selain penentuan stratifikasi sosial seperti di atas, Belanda juga menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung (inderect rule) dengan memanfaatkan stratifikasi tradisional. Penjajahan Belanda memanfaatkan penguasa pribumi tradisional sebagai perpanjangan “tangan” dominasi atau hegemoni sosial-politik atas rakyat.
Dalam sistem stratifikasi Jawa trdisional, kebudayaan yang terbentuk adalah kebudayaan feodal, seperti pengagungan dan orientasi terhadap status sosial dan simbolisasi  golongan priyayi pada rakyat kecil.
Hal itu sering diupayakan oleh rakyat biasa sebagai bentuk penyetaraan status sosial yang merupakan syarat dan lambang status priyayi yang diidealisasikan. Dalam sistem stratifikasi kolonialisme, masyarakat pibumi memiliki posisi lebih rendah, baik dibandinkan dengan orang-orang Belanda (orang eropa) maupun bangsa timur asing, seperti Arab dan Cina. Dalam kaitan ini, sudah barang tentu terjadi idealisasi pada kelompok berstatus sosial bawah (pribumi) terhadap golongan yang berstatus sosial yang lebih tinggi, terlebih lagi setelah muncul penetapan status sosial baru sebagai akibat kebijakan penguasa Belanda.
Pemahaman kolonialisme Belanda, yang terwujud dalam hubungan penjajah dan terjajah seperti dijelaskan di atas, memberikan alasan bagi munculnya kebijakan pemerintah Belanda yang lebih memperhatikan pribumi. Munculnya kebijakan Politik Etis pada 1901 (Ricklefs, 1995: 228) tidak terlepasa dari pandangan Belanda yang semula menempatkan masyarakt pribumi sebagai objek yang dapat diatur sesuai dengan kepetingannya.
Masyarakat pribumi harus dibimbing memasuki dunia modern dan diperkenalkan kepada peradaban Barat yang lebih maju agar tercapai kesesuaian antara Barat dan Timur (Setiadi, 1991: 25).
Kebijakan penguasa Belanda itu tidak terlepas dari gagasan Van Deventer (1899) yang disampaikan melalui majalah De Gids berjudul “Een eereschuld” (Suatu Hutang walaupun tindakan itu tidak terlepas dari kepentbangsa Indonesia dan menganjurkan penguasa Belanda melakukan tindakan untuk kepentingan rakyat pribumi (Riclefs, 1995: 28). Pemikiran itu sebagai landasan penting bagi penyampaian pidato Ratu Wilhelmina (1901), yang menajdi titik awal dicanangkannya Politik Etis (Setiadi,1991: 24).
Kebijakan Politik Etis menandai munculnya perubahan sistem pemerintah kolonialis Belanda terhadap pribumi awal abad ke-20. Pemerintah Belanda berlaku lebih lunak terhadap pribumi sebagai bentuk balas jasa dan tanggung jawab moral (Rosidi, 1965:3 dan Sutherland, 1983: 97-98) walaupun tindakan itu tidak terlepas dari kepentingan penjajah dalam menjaga dan melanggengkan dominasinya terhadap pribumi (Setiadi,1991: 25). Selanjutnya, Ricklefs (1995: 28) menebutkan bahwa terdapat tiga protek penting dalam Politik Etis, yakni educatie, emigratie dan irigatie. Pendidikan mendapat perhatian besar pihak pemerintah sebagai upaya untuk memajukan masyarakat pribumi guna mempersiapkan pegawai pemerintahn. Penguasa Belanda memberi peluang kepada pribumi untuk memasuki sekolah-sekolah Eropa yang sekaligus merupakan kesempatan bagi peribumi untuk mendapat kemajuan (Rosidi, 1965: 3).
Langkah pemerintah pada awal abad ke-20 itu dimaksudkan guna menciptakan hubungan pribumi dengan budaya Eropa selaku ‘negeri induk’.
Terbukanya peluang bagi pribumi memasuki pendidikan Barat telah menimbulkan slite baru dalam stratifikasi sosial. Akan tetapi, tujuan utama pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan adalah mencetak kaum pribumi berpendidikan yang diperlukan untuk mengisi berbagai bidang kerja.
Bagi pencetus Politik Etis (disebut kaum etisi), pendidikan dipandang sebagai jalan penting bagi kaum pribumi untuk mengenal dan memasuki peradaban Barat demi kepentingan “persesuaian” antara penguasa dan pribumi (Setiadi, 1991 : 25).
Dengan demikian,sistem pendidikan Eropa mengubah orientasi masyarakat pribumi, seperti munculnya orientasi baru terhadap kebutuhan pendidikan yang dikaitkan dengan peluang kerja sehingga mengurangi kekaguman mereka terhadap status elite tradisional tentukan atas keturunan. Oleh sebab itu, masyarakat pribumi memanfaatkan peluang memasuki sekolah Belanda setelah ditetapkan pelaksanaanya melalui Peraturan Pemerintah (1818). Kesempatan baru tersebut mempengaruhi perkembangan, cara berfikir,adat istiadat dan kesusilaan mastarakat jajahan (groeneboer, 1995: 152). Sejak saat itu, kaum ellite yang disebut sebagai kelompok priayi tidak hanya mendasarkan status mereka pada pandangan tradisional, melainkan juga pada posisi seseorang dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat.
Fungsi itu hanya dimiliki oleh mereka yang telah memperoleh pendidikan modern yang dikembangkan oleh kolonialisme Belanda. Van Niel (kartodirdjo, dkk 1987:4-5) menyebutkan bahwa kelompok priayi pada awal abadke-20 adalah mereka yang menduduki jabatan administratur (seketaris), pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik dari rakyat biasa.                                                          Dengan demikian, sistem pendidikan kolonialisme itu telah menyebabkan terjadinya perubahan landasan atas munculnya status sosial dalam masyarakat kolonial.
Dengan penetapan sistem stratifikasi dan penyelenggaraan pendidikan pribumi,penguasa Belanda telah membawa orientasi baru bagi usaha emansipasi dan peningkatan martabat pribumi (Faruk, 1991:2) agar setara dengan bangsa penjajahan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa upaya peningkatan martabat ditempuh oleh masyarakat pribumi melalui orientasi (baca: peniruan) budaya atau mimicry. Secara lebih transparan, muncul orientasi baru pribumi terhadap peniruan terhadap budaya Barat (yang dimaksud adalah budaya Eropa) yang termanifestsikan dalam diri orang-orang Belanda di wilayah jajahan. Orientasi baru tersebut sejalan dengan pandangan masyarakat Jawa tradisional yang mengenal pembagian atas status sosial priyayi dan wong cilik. Secara simbolik, sering diindentikkan bahwa priyayi adalah alus (lemah lembut) dan terhormat. Sebaliknya, wong cilik adalah identik dengan kasar dan rendah.
Dalam relasi masyarakat seperti itu, terjadi kecenderungan masyarakat kecil atau wong cilik untuk meningkatkan status sosialnya menjadi priyayi yang dinilai sebagai kelompok sosial berprilaku halus dan terhormat.
Menurut faruk (1991:3) kedua latar belakang kultural tersebut kemungkinan mempercepat proses peniruan cara hidup dan cara berpikir pada kelompok sosial yang lebih tinggi, yakni  bangsa Belanda (Barat) , oleh masyarakat Indonesia(Jawa). Kondisi itu menciptakan pada bagi pribumi bahwa peniruan terhadap budaya bangsa penjajah, baik peniruan gaya hidup maupun cara berpikir dipahami sebagai kehendak, atau bahkan tuntutan zaman sebagai pilihan yang harus ditempuh dalam menyikapi zaman kemajuan.
Akan tetapi, seperti yang ditanyakan Said (1995:12) masyarakat terjajah tidak melakukan peniruan secara pasif (apa adanya) melainkan juga disertai dengan respons atau tanggapan terhadap dominasi Barat. Dengan demikian, di samping terjadi ambivalensi, juga muncul sikap dan pandangan hidup yang merupakan sintesis antara pandangan Barat dan Timur. Langkah itu di ambil oleh pribumi dlam upaya pencarian indentitas sebagai sebuah bangsa sehingga tidak hanya menjiplak Budaya Barat secar utuh.
Pelaksanaan pendidikan model Barat pada awal abad ke-20 telah memberi peluangan bagi pribumi memiliki kemampuan baca. Hal itu menimbulkan perhatian pemerintah untuk memberikan kontrol terhadap intelektual pribumi guna menghidarkan masyarakat dari bacaan yang kurang baik yang diupayakan oleh penerbit nonpemerintah atau swasta. Keberadaan penerbit swasta itu mendorong pemerintah Belanda untuk semakin serius dalam menyediakan bacaan bagi masyarakat terjajah (Sumardjo, 1979:64). Akhirnya, pemerintah mendirikan lembaga penerbitan Balai Pustaka yang dimaksudkan untuk mengantisipasi kemajuan pelaksaan pendidikan dan di harapkan dapat mewakili kehendak pemerintah.
Pada pertengahan 1920 hingga pertengahan 1930, yakni 1925-1936 Balai Pustaka mencapai ‘zaman keemasan’ dan sekaligus merupakan penerbit yang berwibawa, serta berada pada barisan terdepan, seolah-olah tanpa tersaing oleh penerbit lain, terutama dalam penerbitan ‘bacaan yang baik dan layak’ di wilayah Hindia Belanda (Sutiadi,1991:45).
Kurun waktu 1920-1940 merupakan kurun waktu paling konduktif bagi Balai Pustaka dalam penerbitan novel jawa. Akan tetapi, keberadaan Balai Pustaka tidak berdiri netral. Lembaga itu mewakili sikap poliitik reaksional pemerintah Belanda terhadap perkembangan sosial politk masyarakat Hindia Belanda. Lebih jauh, lembaga itu melakukan fungsinya pada “tingkat” ideologi guna memproduksi hubungan sosial yang terbentuk dalam masyarakat kolonial dan hegemoni negara. Idealisasi-idealisasi tokoh cerita pribumi terhadap budaya Belanda, yang disampaikan dalam wacana fiksi, merupakan media penting bagi penjajah Belanda dalam rangka pelestarikan kepatuhan dan kekaguman pribumi pad penjajah.
Sebagai gambaran kiprah Balai Pustaka dalam masyarakatkan novel jawa dapat disebutkan sejumlah novel yang diterbitkannya.
Sebelum tahun 1920, Balai Pustaka menerbitkan beberapa novel Jawa, antara lain, Gita-Gita, dan Tuhuning Katresnan. Yanto, Mitra Musibat, Jarot I, Mbrojol Selaning Garu, kirti Njunjung Drajat, Mitra Darma, Sukaca Ikhtiyar Margining Kasembadan, Swarganing Budi Ayu, Kontrolir Sadiman, Jejodhoan ingkang Siyal, Mungsuh Mungging Cangklakan, Pepisahan Pitu Likur Tuan. Sejak 1930-kedatangan Jepang, Balai Pustaka menerbitkan beberapa novel Ayu ingkang Siyal, Maryati lan Maryana, Dwikarsa, Tumusing Panalangsa, Gambar Mbabar Wewados, Dhendhaning, Ngulandara, Pameleh, Larasati Modern, dan Sri Kumenyar.
Sepertikan di tayakan di atas, kehadiran Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda, telah memberi peluang terhadap pengarang pribumi untuk memasyarakatkan karya-karyanya.
Peluang tersebut menandai awal munculnya pemikiran postkolonial dalam penciptaan karya sastra. Berdasarkan hal itu, telah “Sastra, sikap hidup, dan Budaya Barat” pada novel Balai Pustaka masa 1920 kemerdekaan dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, dilihat dari keberadaan dan produktivitas Balai Pustaka, selaku penerbit pemerintah kolonialisme Belanda, pemasyarakatan novel Jawa Modern pada kurun 1920 sampai dengan 1940 merupakan masa paling produktif dilihat sejak kehadiran dan kematiannya sebagai penerbit sastra sebelum kemerdekaan.kurun 1920- Kemerdekaan (Setiadi, 1991:45) merupakan rentang waktu dari zaman keemasan Balai Pustaka sebagai penerbit sastra, termsuk penerbitan novel Jawa modern.
Kedua, pemilihan objek telah “setelah, Sikap Hidup, dan Budaya Barat” pada novel Jawa Balai Pustaka 1920 kemerdekaan didasarkan pada pandangan beberapa kritikus sastra yang mengakui bahwa tahun 1920 merupakan awal munculnya novel Jawa modern yang ditandai dengan kehadiran novel Serat Riyanto(1920) karya R.B. Sulardi(Ras, 1985:13:Hutomo, 1975:55:dan Quinn, 1995:21). Munculnya genre baru dalam sastra Jawa tersebut sejalan dengan pelaksanaan pendidikan Barat bagi masyarakat terjajah. Dibandingkan dengan novel jawa sebelumnya karena tidak dirusak oleh pesan didaktik atau pesan moral seperti yang terjadi pada novel-novel Jawa sebelum 1920. Novel Serat Riyanto dibangun dengan kisah atau alur yang menarik dan menampilkan tema yang jelas sehingga disebut sebagai novel terpenting pada sekitar 1920.
Ketiga, telah “Sastra, sikap hidup, dan Budaya Barat” pada novel Jawa Balai Pustaka 1920-kemerdekaan didasarkan pada adanya peluang bagi masyarakat Indonesia, termasuk Jawa dalam memasuki pendidikan modern Barat yang mulai dikembangkan oleh kolonialisme Belanda. Penguasa Belanda membuka kesempatan bagi pribumi untuk memasuki sekolah-sekolah Eropa. Kegairahan pribumi dalam memasuki pendidikan Barat mencapai puncaknya pada tahun 1930-an (Ricklefs, 1995;228). Sebagai penerbit sastra kolonial, Balai Pustaka tidak terlepas dari sistem pendidikan Eropa yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
Bahkan, didirikannya lembaga penerbitan itu sebagai tindakan antisipatif penjajah atas kondisi sosial masyarakat pribumi akibat semakin pesatnya sekolah modern model Eropa(Belanda) pada saat itu. Pendidikan modern telah menyadarkan pandangan kalangan elite tradisional Jawa priyayi dan pejabat pemerintahan yang telah mendapat pendidikan Eropa bahwa pendidikan Barat sebagai kunci menuju kemajuan (Ricklefs, 1995;248). Pendidikan Barat telah melahirkan paradigma-paradigma baru bagi pribumi dalam orientasi pada masa depannya. Orientasi itu adalah kemajuan yang dipandangnya sebagai ‘kehendak zaman’ yang berkorelasi dengan orientasi pribumi ke arah kemajuan memasuki kehidupan modern seperti yang terjadi dan dintunjukkan oleh orang-orang Belanda sebagai wujud simbol budaya modern.
Kegairahan pribumi dalam mengikuti pendidikan Barat bertepatan dan sejalan denganproduktivitas yang lebih baik bagi penerbit Balai Pustaka sehingga orientasi pribumi terhadap budaya Barat yang di pandang sebagai tututan zaman semakin kuat. Dengan demikian, kemungkinan adanya novel Balai Pustaka 1920-Kemerdekaan yang mengangkat masalah sikap atau prientasi pribumi terhadap budaya Barat semakin lebih besar terjadi, bahkan lebih dominan dari kurun waktu sebelumnya.
Keempat, kajian postkolonialisme dengan “Sastra, Sikap Hidup, dan Budaya Barat “ pada novel Jawa Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda ini di latar belakangi oleh adanya Sinyalemen Setiadi dan Said (1995:104) yang menyatakan bahwa sampai dengan saat ini studi yang mengkaitkan keberadaan kolonialisme Barat (Belanda) dengan budaya masyarakat terjajah, belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Kelima, berkaitan dengan keempat alasan di atas, dilakukan dengan landasan bahwa hingga saat ini belum terdapat kajian postkolonialisme terhadap sastra jawa modern yang mengkaitkan keberadaan karya sastra dengan sikap hidup masyarakat jawa dan budaya Barat.  Dengan demikian, telah ini dapat di pandang sebagai upaya yang mengawali kajian terhadap sastra jawa sebelum kemerdekaan (khususnya novel jawa) selaku wacana kolonial yang mempertingbangkan keberadaan karya satra tersebut sebagai produk budaya pada masa kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan topik yang lazim di bicarakan dalam studi postkolonialisme.
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara produksi sastra termasuk pemasyarakatan novel Jawa, dengan masalah sosial pada masa kolonial Belanda, seperti kaitan penerbitan sastra dengan penyelenggaraan pendidikan Belanda yang semakin berkembang pada tahun 1930. Hal itu sejalan dengan pernyataan Suryadi (1998:5) bahwa di balik kenyataan fiksional wacana sastra dapat dibaca ideologi yang berlaku dalam masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar