Bangsa
indonesia mengalami penjajahan oleh bangsa barat atau eropa dalam masa yang
sangat panjang. Yang terpanjang adalah penjajahan oleh bangsa belanda yakni
selama lebih kurang 350 tahun. Bangsa indonesia berada pada posisi inferior
dihadapan bangsa penjajah. Di sisi lain, sebagai penjajah, bangsa belanda
berada pada status sosial penguasa dan menciptakan hubungan patron-client
dengan masyarakat pribumi.
Said
(1996: 3) menyatakan bahwa masyarakat barat memandang masyarakat timur sebagai
sosok the orient. Masyarakat barat memandang dieinya sebagai sosok the
occident. Sementara faruk (1998: 2) menyatakan bahwa penjajah menempatkan diri
sebagai subjek dengan arogansi dan superioritasnya dihadapan masyarakat
pribumi.
Said
(1996:3) menyatakan bahwa masyarakat barat memandang masyarakat timur sebagai
sosok the orient. Sementara itu masyarakat barat, memandang dirinya sebagi
sosok the occident.
Faruk
(1998:2) menyatakan bahwa penjajah menempatkan diri sebagai subjek dengan arogansi
dan superioritasnya di hadapan masyarakat pribumi.
Sejak
abdab ke-17 dan 18 (sastrowardoyo, 1983:23) sistem status sosial masyarakat jajahan
didasarkan pada ras, sedangakan pada 1850, pemerintah Belanda mentapkan sistem
stratifikasi sosial penduduk hindia Belanda berdasrkan politik, ekonomi, dan
sisoal secara berjenjang. Yaitu: (a). Bansa Belanda dan indo, (b). Bangsa timur
asing, misalnya bangsa Cina dan Arab, dan (c). Masyarakat pribumi. Eksistensi
penentuan status stratifikasi tersebut tercermin dalam karya-karya sastra
Hindia Belanda, yakni karya sastra berbahasa Belanda yang ditulis oleh orang
Belanda,Indo,maupun pribumi yang berbicara tentang masyarakat jajahan.
Selain
penentuan stratifikasi sosial seperti di atas, Belanda juga menerapkan sistem
pemerintahan tidak langsung (inderect
rule) dengan memanfaatkan stratifikasi tradisional. Penjajahan Belanda
memanfaatkan penguasa pribumi tradisional sebagai perpanjangan “tangan”
dominasi atau hegemoni sosial-politik atas rakyat.
Dalam
sistem stratifikasi Jawa trdisional, kebudayaan yang terbentuk adalah
kebudayaan feodal, seperti pengagungan dan orientasi terhadap status sosial dan
simbolisasi golongan priyayi pada rakyat
kecil.
Hal
itu sering diupayakan oleh rakyat biasa sebagai bentuk penyetaraan status
sosial yang merupakan syarat dan lambang status priyayi yang diidealisasikan.
Dalam sistem stratifikasi kolonialisme, masyarakat pibumi memiliki posisi lebih
rendah, baik dibandinkan dengan orang-orang Belanda (orang eropa) maupun bangsa
timur asing, seperti Arab dan Cina. Dalam kaitan ini, sudah barang tentu
terjadi idealisasi pada kelompok berstatus sosial bawah (pribumi) terhadap
golongan yang berstatus sosial yang lebih tinggi, terlebih lagi setelah muncul
penetapan status sosial baru sebagai akibat kebijakan penguasa Belanda.
Pemahaman
kolonialisme Belanda, yang terwujud dalam hubungan penjajah dan terjajah
seperti dijelaskan di atas, memberikan alasan bagi munculnya kebijakan
pemerintah Belanda yang lebih memperhatikan pribumi. Munculnya kebijakan
Politik Etis pada 1901 (Ricklefs, 1995: 228) tidak terlepasa dari pandangan
Belanda yang semula menempatkan masyarakt pribumi sebagai objek yang dapat
diatur sesuai dengan kepetingannya.
Masyarakat
pribumi harus dibimbing memasuki dunia modern dan diperkenalkan kepada
peradaban Barat yang lebih maju agar tercapai kesesuaian antara Barat dan Timur
(Setiadi, 1991: 25).
Kebijakan
penguasa Belanda itu tidak terlepas dari gagasan Van Deventer (1899) yang
disampaikan melalui majalah De Gids berjudul “Een eereschuld” (Suatu Hutang walaupun
tindakan itu tidak terlepas dari kepentbangsa Indonesia dan menganjurkan
penguasa Belanda melakukan tindakan untuk kepentingan rakyat pribumi (Riclefs,
1995: 28). Pemikiran itu sebagai landasan penting bagi penyampaian pidato Ratu
Wilhelmina (1901), yang menajdi titik awal dicanangkannya Politik Etis
(Setiadi,1991: 24).
Kebijakan
Politik Etis menandai munculnya perubahan sistem pemerintah kolonialis Belanda
terhadap pribumi awal abad ke-20. Pemerintah Belanda berlaku lebih lunak terhadap
pribumi sebagai bentuk balas jasa dan tanggung jawab moral (Rosidi, 1965:3 dan
Sutherland, 1983: 97-98) walaupun tindakan itu tidak terlepas dari kepentingan
penjajah dalam menjaga dan melanggengkan dominasinya terhadap pribumi
(Setiadi,1991: 25). Selanjutnya, Ricklefs (1995: 28) menebutkan bahwa terdapat
tiga protek penting dalam Politik Etis, yakni educatie, emigratie dan irigatie.
Pendidikan mendapat perhatian besar pihak pemerintah sebagai upaya untuk
memajukan masyarakat pribumi guna mempersiapkan pegawai pemerintahn. Penguasa
Belanda memberi peluang kepada pribumi untuk memasuki sekolah-sekolah Eropa
yang sekaligus merupakan kesempatan bagi peribumi untuk mendapat kemajuan
(Rosidi, 1965: 3).
Langkah
pemerintah pada awal abad ke-20 itu dimaksudkan guna menciptakan hubungan
pribumi dengan budaya Eropa selaku ‘negeri induk’.
Terbukanya
peluang bagi pribumi memasuki pendidikan Barat telah menimbulkan slite baru
dalam stratifikasi sosial. Akan tetapi, tujuan utama pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan adalah mencetak kaum pribumi berpendidikan yang
diperlukan untuk mengisi berbagai bidang kerja.
Bagi
pencetus Politik Etis (disebut kaum etisi), pendidikan dipandang sebagai jalan
penting bagi kaum pribumi untuk mengenal dan memasuki peradaban Barat demi
kepentingan “persesuaian” antara penguasa dan pribumi (Setiadi, 1991 : 25).
Dengan
demikian,sistem pendidikan Eropa mengubah orientasi masyarakat pribumi, seperti
munculnya orientasi baru terhadap kebutuhan pendidikan yang dikaitkan dengan
peluang kerja sehingga mengurangi kekaguman mereka terhadap status elite
tradisional tentukan atas keturunan. Oleh sebab itu, masyarakat pribumi
memanfaatkan peluang memasuki sekolah Belanda setelah ditetapkan pelaksanaanya
melalui Peraturan Pemerintah (1818). Kesempatan baru tersebut mempengaruhi
perkembangan, cara berfikir,adat istiadat dan kesusilaan mastarakat jajahan
(groeneboer, 1995: 152). Sejak saat itu, kaum ellite yang disebut sebagai
kelompok priayi tidak hanya mendasarkan status mereka pada pandangan tradisional,
melainkan juga pada posisi seseorang dalam hal memimpin, memberi pengaruh,
mengatur dan menuntun masyarakat.
Fungsi
itu hanya dimiliki oleh mereka yang telah memperoleh pendidikan modern yang
dikembangkan oleh kolonialisme Belanda. Van Niel (kartodirdjo, dkk 1987:4-5)
menyebutkan bahwa kelompok priayi pada awal abadke-20 adalah mereka yang
menduduki jabatan administratur (seketaris), pegawai pemerintahan, dan
orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik dari rakyat biasa. Dengan
demikian, sistem pendidikan kolonialisme itu telah menyebabkan terjadinya
perubahan landasan atas munculnya status sosial dalam masyarakat kolonial.
Dengan
penetapan sistem stratifikasi dan penyelenggaraan pendidikan pribumi,penguasa
Belanda telah membawa orientasi baru bagi usaha emansipasi dan peningkatan
martabat pribumi (Faruk, 1991:2) agar setara dengan bangsa penjajahan. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa upaya peningkatan martabat ditempuh oleh masyarakat
pribumi melalui orientasi (baca: peniruan) budaya atau mimicry. Secara lebih transparan, muncul orientasi baru pribumi
terhadap peniruan terhadap budaya
Barat (yang dimaksud adalah budaya Eropa) yang termanifestsikan dalam diri
orang-orang Belanda di wilayah jajahan. Orientasi baru tersebut sejalan dengan
pandangan masyarakat Jawa tradisional yang mengenal pembagian atas status
sosial priyayi dan wong cilik. Secara simbolik, sering
diindentikkan bahwa priyayi adalah alus (lemah lembut) dan terhormat. Sebaliknya,
wong cilik adalah identik dengan
kasar dan rendah.
Dalam
relasi masyarakat seperti itu, terjadi kecenderungan masyarakat kecil atau wong cilik untuk meningkatkan status
sosialnya menjadi priyayi yang dinilai sebagai kelompok sosial berprilaku halus
dan terhormat.
Menurut
faruk (1991:3) kedua latar belakang kultural tersebut kemungkinan mempercepat
proses peniruan cara hidup dan cara berpikir pada kelompok sosial yang lebih
tinggi, yakni bangsa Belanda (Barat) ,
oleh masyarakat Indonesia(Jawa). Kondisi itu menciptakan pada bagi pribumi
bahwa peniruan terhadap budaya bangsa penjajah, baik peniruan gaya hidup maupun
cara berpikir dipahami sebagai kehendak, atau bahkan tuntutan zaman sebagai
pilihan yang harus ditempuh dalam menyikapi zaman kemajuan.
Akan
tetapi, seperti yang ditanyakan Said (1995:12) masyarakat terjajah tidak
melakukan peniruan secara pasif (apa adanya) melainkan juga disertai dengan
respons atau tanggapan terhadap dominasi Barat. Dengan demikian, di samping
terjadi ambivalensi, juga muncul sikap dan pandangan hidup yang merupakan
sintesis antara pandangan Barat dan Timur. Langkah itu di ambil oleh pribumi
dlam upaya pencarian indentitas sebagai sebuah bangsa sehingga tidak hanya
menjiplak Budaya Barat secar utuh.
Pelaksanaan
pendidikan model Barat pada awal abad ke-20 telah memberi peluangan bagi
pribumi memiliki kemampuan baca. Hal itu menimbulkan perhatian pemerintah untuk
memberikan kontrol terhadap intelektual pribumi guna menghidarkan masyarakat
dari bacaan yang kurang baik yang diupayakan oleh penerbit nonpemerintah atau
swasta. Keberadaan penerbit swasta itu mendorong pemerintah Belanda untuk
semakin serius dalam menyediakan bacaan bagi masyarakat terjajah (Sumardjo,
1979:64). Akhirnya, pemerintah mendirikan lembaga penerbitan Balai Pustaka yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi kemajuan pelaksaan pendidikan dan di harapkan
dapat mewakili kehendak pemerintah.
Pada
pertengahan 1920 hingga pertengahan 1930, yakni 1925-1936 Balai Pustaka
mencapai ‘zaman keemasan’ dan sekaligus merupakan penerbit yang berwibawa,
serta berada pada barisan terdepan, seolah-olah tanpa tersaing oleh penerbit
lain, terutama dalam penerbitan ‘bacaan yang baik dan layak’ di wilayah Hindia
Belanda (Sutiadi,1991:45).
Kurun
waktu 1920-1940 merupakan kurun waktu paling konduktif bagi Balai Pustaka dalam
penerbitan novel jawa. Akan tetapi, keberadaan Balai Pustaka tidak berdiri
netral. Lembaga itu mewakili sikap poliitik reaksional pemerintah Belanda
terhadap perkembangan sosial politk masyarakat Hindia Belanda. Lebih jauh,
lembaga itu melakukan fungsinya pada “tingkat” ideologi guna memproduksi
hubungan sosial yang terbentuk dalam masyarakat kolonial dan hegemoni negara.
Idealisasi-idealisasi tokoh cerita pribumi terhadap budaya Belanda, yang
disampaikan dalam wacana fiksi, merupakan media penting bagi penjajah Belanda
dalam rangka pelestarikan kepatuhan dan kekaguman pribumi pad penjajah.
Sebagai
gambaran kiprah Balai Pustaka dalam masyarakatkan novel jawa dapat disebutkan
sejumlah novel yang diterbitkannya.
Sebelum
tahun 1920, Balai Pustaka menerbitkan beberapa novel Jawa, antara lain, Gita-Gita, dan Tuhuning Katresnan. Yanto,
Mitra Musibat, Jarot I, Mbrojol Selaning Garu, kirti Njunjung Drajat, Mitra
Darma, Sukaca Ikhtiyar Margining Kasembadan, Swarganing Budi Ayu, Kontrolir
Sadiman, Jejodhoan ingkang Siyal, Mungsuh Mungging Cangklakan, Pepisahan Pitu
Likur Tuan. Sejak 1930-kedatangan Jepang, Balai Pustaka menerbitkan
beberapa novel Ayu ingkang Siyal, Maryati
lan Maryana, Dwikarsa, Tumusing Panalangsa, Gambar Mbabar Wewados, Dhendhaning,
Ngulandara, Pameleh, Larasati Modern, dan Sri Kumenyar.
Sepertikan
di tayakan di atas, kehadiran Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda, telah
memberi peluang terhadap pengarang pribumi untuk memasyarakatkan karya-karyanya.
Peluang
tersebut menandai awal munculnya pemikiran postkolonial dalam penciptaan karya
sastra. Berdasarkan hal itu, telah “Sastra,
sikap hidup, dan Budaya Barat” pada novel Balai Pustaka masa 1920
kemerdekaan dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, dilihat dari keberadaan
dan produktivitas Balai Pustaka, selaku penerbit pemerintah kolonialisme
Belanda, pemasyarakatan novel Jawa Modern pada kurun 1920 sampai dengan 1940
merupakan masa paling produktif dilihat sejak kehadiran dan kematiannya sebagai
penerbit sastra sebelum kemerdekaan.kurun 1920- Kemerdekaan (Setiadi, 1991:45)
merupakan rentang waktu dari zaman keemasan Balai Pustaka sebagai penerbit
sastra, termsuk penerbitan novel Jawa modern.
Kedua,
pemilihan objek telah “setelah, Sikap Hidup, dan Budaya Barat” pada novel Jawa
Balai Pustaka 1920 kemerdekaan didasarkan pada pandangan beberapa kritikus
sastra yang mengakui bahwa tahun 1920 merupakan awal munculnya novel Jawa
modern yang ditandai dengan kehadiran novel Serat Riyanto(1920) karya R.B. Sulardi(Ras,
1985:13:Hutomo, 1975:55:dan Quinn, 1995:21). Munculnya genre baru dalam sastra
Jawa tersebut sejalan dengan pelaksanaan pendidikan Barat bagi masyarakat
terjajah. Dibandingkan dengan novel jawa sebelumnya karena tidak dirusak oleh
pesan didaktik atau pesan moral seperti yang terjadi pada novel-novel Jawa
sebelum 1920. Novel Serat Riyanto dibangun dengan kisah atau alur yang menarik
dan menampilkan tema yang jelas sehingga disebut sebagai novel terpenting pada
sekitar 1920.
Ketiga,
telah “Sastra, sikap hidup, dan Budaya Barat” pada novel Jawa Balai Pustaka
1920-kemerdekaan didasarkan pada adanya peluang bagi masyarakat Indonesia,
termasuk Jawa dalam memasuki pendidikan modern Barat yang mulai dikembangkan
oleh kolonialisme Belanda. Penguasa Belanda membuka kesempatan bagi pribumi
untuk memasuki sekolah-sekolah Eropa. Kegairahan pribumi dalam memasuki
pendidikan Barat mencapai puncaknya pada tahun 1930-an (Ricklefs, 1995;228).
Sebagai penerbit sastra kolonial, Balai Pustaka tidak terlepas dari sistem
pendidikan Eropa yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
Bahkan,
didirikannya lembaga penerbitan itu sebagai tindakan antisipatif penjajah atas
kondisi sosial masyarakat pribumi akibat semakin pesatnya sekolah modern model
Eropa(Belanda) pada saat itu. Pendidikan modern telah menyadarkan pandangan
kalangan elite tradisional Jawa priyayi dan pejabat pemerintahan yang telah
mendapat pendidikan Eropa bahwa pendidikan Barat sebagai kunci menuju kemajuan
(Ricklefs, 1995;248). Pendidikan Barat telah melahirkan paradigma-paradigma
baru bagi pribumi dalam orientasi pada masa depannya. Orientasi itu adalah
kemajuan yang dipandangnya sebagai ‘kehendak zaman’ yang berkorelasi dengan
orientasi pribumi ke arah kemajuan memasuki kehidupan modern seperti yang terjadi
dan dintunjukkan oleh orang-orang Belanda sebagai wujud simbol budaya modern.
Kegairahan
pribumi dalam mengikuti pendidikan Barat bertepatan dan sejalan
denganproduktivitas yang lebih baik bagi penerbit Balai Pustaka sehingga
orientasi pribumi terhadap budaya Barat yang di pandang sebagai tututan zaman
semakin kuat. Dengan demikian, kemungkinan adanya novel Balai Pustaka
1920-Kemerdekaan yang mengangkat masalah sikap atau prientasi pribumi terhadap
budaya Barat semakin lebih besar terjadi, bahkan lebih dominan dari kurun waktu
sebelumnya.
Keempat,
kajian postkolonialisme dengan “Sastra, Sikap Hidup, dan Budaya Barat “ pada
novel Jawa Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda ini di latar belakangi
oleh adanya Sinyalemen Setiadi dan Said (1995:104) yang menyatakan bahwa sampai
dengan saat ini studi yang mengkaitkan keberadaan kolonialisme Barat (Belanda)
dengan budaya masyarakat terjajah, belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Kelima,
berkaitan dengan keempat alasan di atas, dilakukan dengan landasan bahwa hingga
saat ini belum terdapat kajian postkolonialisme terhadap sastra jawa modern
yang mengkaitkan keberadaan karya sastra dengan sikap hidup masyarakat jawa dan
budaya Barat. Dengan demikian, telah ini
dapat di pandang sebagai upaya yang mengawali kajian terhadap sastra jawa
sebelum kemerdekaan (khususnya novel jawa) selaku wacana kolonial yang
mempertingbangkan keberadaan karya satra tersebut sebagai produk budaya pada
masa kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan topik yang lazim di bicarakan
dalam studi postkolonialisme.
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara produksi
sastra termasuk pemasyarakatan novel Jawa, dengan masalah sosial pada masa
kolonial Belanda, seperti kaitan penerbitan sastra dengan penyelenggaraan
pendidikan Belanda yang semakin berkembang pada tahun 1930. Hal itu sejalan
dengan pernyataan Suryadi (1998:5) bahwa di balik kenyataan fiksional wacana
sastra dapat dibaca ideologi yang berlaku dalam masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar